Hari ini, 29 Juli 1941 kelahiran Goenawan Mohamad.
Ia budayawan sekaligus salah seorang pendiri Majalah Tempo pada 1971.
Selain sebagai pendiri, sosok yang kerap disebut “GM” ini pun sempat berkiprah sebagai Pemimpin Redaksi atau Pemred di majalah berita tersebut.
Goenawan Mohamad lahir di Batang, Jawa Tengah, 81 tahun lalu.
Saat muda, dia lebih dikenal sebagai seorang penyair, ia pun disebut sastrawan.
Kecintaan Goenawan Mohamad terhadap puisi bermula sejak sekolah dasar.
Dia kerap mendengarkan acara puisi yang disiarkan RRI, kemudian saat berusia 19 tahun, Goenawan Mohamad menggubah puisi penyair wanita Amerika, Emily Dickinson ke dalam Bahasa Indonesia.
Setamat dari sekolah menengah atas, Goenawan Mohamad melanjutkan pendidikan tinggi di Universitas Indonesia atau UI.
Dia mengambilnya jurusan di Fakultas Psikologi.
Nama Goenawan Mohamad mulai dikenal di kalangan intelektual pada 1960-an.
Menjelang keruntuhan Orde Lama, bersama rekan-rekannya, antara lain Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Taufiq Ismail, Arief Budiman, dan H.B.
Jassin, dia ikut menyusun Manifesto Kebudayaan pada 1964.
Manifesto Kebudayaan 1964 atau dikenal dengan manikebu merupakan pernyataan sikap Goenawan Mohamad dan kawan-kawan yang diumumkan kepada publik.
Manifesto Kebudayaan ini mengangkat konsep paham filosofi tentang nilai kemanusiaan pada kehidupan dunia.
Presiden Soekarno melarang Manifes Kebudayaan karena dianggap menyeleweng dan ingin menyaingi Manifesto Politik 1964.
Dampaknya, Goenawan Mohamad yang ikut menandatangani pernyataan sikap itu dilarang menulis di berbagai media umum.
Mengutip dari Pusat Data & Analisis TEMPO Apa & Siapa ‘85/86, setelah Orde Lama berakhir, Goenawan Mohamad seolah menyingkir.
Dia menuntut ilmu ke College of Europe, Belgia.
Sepulang dari Eropa, Goenawan Mohamad sempat menjadi wartawan harian Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia atau KAMI.
Dia menjadi redaktur harian tersebut pada 1969 hingga 1970.
Ia pernah pula menjadi redaktur Majalah Horison pada 1969 hingga 1974, serta turut mendirikan Majalah Ekspres dan menjadi Pemred pada 1970 hingga 1971.
Kemudian pada 1971, bersama rekan-rekannya Goenawan Mohamad memisahkan diri dari majalah Ekspres dan mendirikan majalah berita mingguan Tempo.
Di Majalah Tempo, Goenawan Mohamad banyak menulis di rubrik Catatan Pinggir atau Caping.
Kolom ini menjadi ruang bagi dia untuk menyampaikan kritik terhadap agenda-agenda politik di Indonesia era Soeharto.
Karena kerap mengkritisi pemerintah Orde Baru, Tempo dianggap sebagai oposisi yang merugikan kepentingan pemerintah.
Akibat kekritisannya, Tempo dibredel kegiatan penerbitannya pada 1994.
Mengutip laman PT Tempo Inti Media, tempo.id, setelah Soeharto lengser dan rezim Orde Baru berakhir, Goenawan Mohamad kembali “membangunkan” Tempo pada 1998 yang sempat tertidur.
Namun dia hanya bersedia “mengawal” Tempo selama setahun saja.
Selanjutnya, tampuk kepemimpinan diserahkan kepada Bambang Harymurti.
Sejak 1989, wartawan dan budayawan ini menjadi Komisaris Utama PT Tempo Inti Media Tbk hingga sekarang.
Tulisan-tulisan awal Goenawan Mohamad antara lain Potret Seorang Penyair Muda Sebagai Si Malin Kundang (1972) dan Seks, Sastra, Kita (1980), Kesusastraan dan Kekuasaan (1993), Setelah Revolusi Tak Ada Lagi (2001), Kata, Waktu (2001), ‘Eksotop’ (2003), ‘Tuhan dan Hal-hal Yang Tak Selesai’ (2007).
Sedangkan untuk puisi, dia kumpulkan dalam bukunya Parkesit (1971), Interlude (1973), Asmaradana (1992), Misalkan Kita di Sarajevo (1998), Sajak-Sajak Lengkap 1961-2001 (2001), Don Quixote (2011), Tujuh Puluh Puisi (2011), dan Fragmen, Sajak-Sajak Baru (2017).
Untuk ulang tahunnya yang ke-70 saat itu, beberapa karya Goenawan Mohamad diterbitkan ulang pada 2011, yaitu Marxisme, Seni, dan Pembebasan, Indonesia/Proses, Puisi dan Antipuisi, Di Sekitar Sajak, Tokoh + Pokok, Teks dan Iman, Debu, Duka, Dst: Sebuah Pertimbangan anti-theodise, Ruang dan Kekuasaan, Rupa, serta Pagi dan Hal-hal Yang Dipungut Kembali .
Selain di dunia kewartawanan, Goenawan Mohamad berkiprah di dunia seni.
Dia adalah penulis teks drama pewayangan Wisanggeni (1995) yang dimainkan oleh Dalang Sudjiwo Tedjo, serta Alap-alapan Surtikanti (2002) oleh Dalang Slamet Gundono.
Selain itu, dia menulis pula skenario untuk drama tari Panji Sepuh koreografi Sulistio Tirtosudarmo.
Catatan Pinggir si majalah Tempo pun telah dibukukan.
Kumpulan esai pertamanya berjudul Potret Penyair Muda sebagai si Malin Kundang diterbitkan 1972 oleh Pustaka Jaya.
Pada 1980 penerbit Sinar Harapan menerbitkan kumpulan esai yang kedua dengan judul Seks, Sastra, dan Kita.
Kumpulan esai yang ketiga berjudul Kesusastraan dan Kekuasaan diterbitkan oleh Pustaka Firdaus tahun 1993.
Pada 14 Agustus 2004 Freedom Institute memberikan penghargaan Achmad Bakrie 2004 kepada Goenawan Muhammad karena dinilai sebagi sosok teladan yang memberikan inspirasi bagi bangsa Indonesia, terutama dalam menegakkan tradisi penulisan sastra di Indonesia.
Penghargaan lain yang diterimanya, antara lain Hamengku Buwono IX Award dari UGM pada 2011.
Selain itu beroleh hadiah sastra Profesor Teeuw Award pada 1992.
Goenawan Mohamad sekarang merawat Komunitas Salihara, sebuah wadah berkesenian yang ada di kawasan Salihara, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
HENDRIK KHOIRUL MUHID I SDA Ikuti berita terkini dari Tempo di Google News, klik di sini.